Detik-Detik Terakhir Kesultanan Bulungan
Posted: Selasa, 16 Oktober 2012 by Tahta Banjar in
0
Judul Asal : Malam Jahanam di Bulungan
Artikel : LenteraTimur.com
Ibrahim berdiri terpaku menatap istana yang
hancur lebur. Ia menangis sesenggukan. Air matanya mengalir deras sedari tadi.
Di depan mata bocah sepuluh tahun itu tersaji sebuah pemandangan bengis:
segerombolan orang berpakaian loreng dan bersenjata lengkap membakar mahligai
negara Kesultanan Bulungan. Api berkobar menjilati tiang-tiang istana.
Dari arah utara, suara teriakan perempuan terdengar keras.
”Ibrahim…! Lari… lari!”
Perempuan itu meminta Ibrahim
segera meninggalkan istana yang sudah menjadi puing. Namun dia tetap tegak bak
pohon yang tak goyang. Angin malam Sungai Kayan tak membuat langkahnya mundur.
Tajam matanya yang masih dilintasi air yang turun dari kelopak, tetap tertuju
pada reruntuhan istana. Otaknya merekam peristiwa malam itu lekat-lekat.
Lalu, perempuan itu keluar dari
persembunyiannya dan berlari ke arah Ibrahim. Sekejap, tangannya menangkap
tubuh Ibrahim yang masih berdiri tegap dan membawanya menjauh dari kobaran api.
Perempuan itu tak lain adalah ibu kandung Ibrahim sendiri, yang selamat dari
pembantaian.
Setelah puas membakar, membunuh
petinggi negara Kesultanan Bulungan, dan merampas harta benda istana, para
tentara itu lalu menculik Datu Mukemat bergelar Raja Muda. Sampai sekarang,
Raja Muda yang juga sepupu Ibrahim itu, tak diketahui nasibnya.
Replika Singgasana Kesultanan Bulungan |
Sabtu, 18 Juli 1964, di malam
penuh kebengisan itu, semua hancur lebur. Peradaban panjang terbujur. Ibrahim
menjadi saksi betapa kejinya sekelompok tentara yang telah membunuh dan
menculik kerabat istana hingga membakar dan menghancurkan istana dan rumah
adat. Tak puas membakar, para tentara juga merampas harta benda milik
kesultanan.
”Waktu itu saya masih kecil, baru
berumur sepuluh tahun. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pembakaran itu.
Tentara menculik dan membunuh kerabat istana. Raja Muda hilang. Sampai sekarang
tidak jelas keberadaannya,” kata Ibrahim yang bergelar Datu Ibrahim Bin Datu
Bendahara, kepada LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Museum Kesultanan
Bulungan, Tanjung Palas, Kalimantan Timur.
Mata Ibrahim berkaca-kaca
menceritakan peristiwa itu. Suaranya berat. Tangannya menunjuk foto Raja Muda
bersama istrinya yang terpajang di salah satu dinding di dalam museum
Kesultanan Bulungan. Museum itu dibangun ulang untuk mengangkat kembali
kejayaan Kesultanan Bulungan. Bersama istri dan anaknya, Ibrahim tinggal tak
jauh dari museum, yang dulunya adalah istana.
Ibrahim yang kini berusia 58
tahun itu bercerita, sebelum 18 Juli 1964, sudah terjadi penangkapan dan
pembunuhan petinggi-petinggi Bulungan oleh tentara atas perintah Brigadir
Jenderal Suhario, yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam IX Mulawarman.
Namun, yang melakukan eksekusi di lapangan adalah kaki tangannya, antara lain
Letnan B. Simatupang.
Berdasarkan informasi dari
Kesultanan Bulungan, pelaku pembantaian ini juga memiliki keterkaitan dengan
kaum komunis. Dan di banyak sumber, Suhario disebut-sebut memang dekat dengan
kelompok tersebut.
”Kerabat kami satu per satu
diculik. Ada
yang dibunuh. Setidaknya ada 58 orang korban keganasan tentara,” kata Ibrahim.
Petaka 18 Juli 1964 itu kemudian
dikenal dengan nama tragedi Bultiken. Bultiken merupakan akronim dari Bulungan,
Tidung, dan Kenyah. Ketiganya berasal dari keturunan proto-melayu yang dalam
perjalanan masa dikenal dengan nama suku Dayak Kenyah atau Dayak Kayan.
Sementara, mereka yang hijrah ke wilayah pantai melalui percampuran darah dan
perkawinan dengan penduduk pendatang dari daerah atau negeri lain menjelma
menjadi dua rumpun besar, yaitu Suku Tidung dan Suku Bulungan.
”Kami dituduh makar, melawan
pemerintahan yang sah,” kata Ibrahim. ”Akibatnya banyak kerabat kami yang lari
ke Malaysia dan memilih
menjadi warga negara Malaysia
ketimbang Indonesia .”
Menurut Ali Amin Bilfaqih, dalam
bukunya “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”, kejadian
itu bermula pada Kamis, 2 Juli 1964. Selepas salat Magrib hingga larut malam,
Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang bertamu ke kediaman Raja Muda di
istana Kesultanan Bulungan. Mereka tampak asyik bercerita hingga diselingi tawa
dan canda. Namun, di ruangan terpisah, dua anak Raja Muda yang masih balita,
Masnun dan Khaharudin, sangat rewel. Mereka menangis terus sejak magrib hingga
larut malam. Tangisan itu ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya sesuatu
yang buruk.
Bisa jadi firasat itu benar.
Selepas Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang pamit tengah malam dan diantar
Raja Muda hingga tangga istana, ternyata keduanya kembali lagi pada subuh dini
hari, Jumat, 3 Juli 1964. Kali ini mereka membawa sepasukan tentara dari satuan
tempur Brawijaya 517 untuk mengepung istana Kesultanan Bulungan.
Masyarakat yang kala itu sedang
mengambil air wudhu di Sungai Kayan untuk salat subuh kaget melihat begitu
banyaknya tentara. Dan sekitar pukul enam pagi, seluruh masyarakat di Tanjung
Palas dikumpulkan di depan istana.
Lalu, Mayor Sumina Husain,
Komandan Kodim 0903 Bulungan di Tanjung Selor, berpidato. ”Para bangsawan
Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah, dengan gerakan
subversif Bultiken.”
Pernyataan itu kemudian diulangi
lagi oleh Letnan B. Simatupang. Namun, Datu Taruna, bangsawan Bulungan,
menyanggahnya.
”Itu tidak mungkin, sebab Kapten
Buntaran dan Letnan B. Simatupang ngobrol hingga larut malam dengan Raja Muda
di istana.”
Letnan B. Simatupang marah, lalu
memerintahkan kepada seorang polisi M. Ramli untuk menembak Datu Taruna. Datu
Taruna pun akhirnya terjungkal dan rebah bersimbah darah.
Sejak peristiwa itu, tentara
menutup istana dan harta benda dijarah. Satu per satu bangsawan Bulungan hilang
tanpa status. Sisanya ditangkap dan ada yang dibunuh. Tercatat pada 3, 4, dan 6
Juli 1964 sering terjadi penculikan dan penangkapan. Kemudian Sabtu malam, 18
Juli 1964, istana Raja Muda pun dibakar.
Kekejaman itu lalu terus memburu.
Pada hari Kamis-Jumat, 23-24 Juli 1964, penyerangan dan pembakaran masih terus
dilakukan. Istana Bulungan bertingkat dua itu dibakar selama dua hari dua malam
hingga rata dengan tanah. Masyarakat yang tidak ikut membakar istana, dianggap
pengikut Raja Muda yang memberontak.
”Peristiwa itu tidak akan kami
lupakan. Saya masih dendam hari ini,” kata Ibrahim. Suaranya berat. Ia terdiam
sejenak. Matanya sedikit berkabut. ”Tuhan yang akan membalasnya,” suara Ibrahim
lirih.
Bergabung dengan
Indonesia
Istana Kesultanan Bulungan
terletak di Tanjang Palas. Untuk mencapainya, orang harus menyeberangi Sungai
Kayan dari Tanjung Selor. Tak butuh waktu lama, cukup sekitar lima menit berperahu kolotok saja, kita akan
sampai di Istana Kesultanan Bulungan, Kalimantan Timur.
Di dalam museum, masih terdapat
sebagian kecil saja sisa-sisa harta benda Kesultanan Bulungan yang selamat dari
jarahan tentara. Semua ornamen-ornamennya didominasi oleh warna kuning. Antara
lain keris – senjata khas Melayu, tempat tidur raja, guci, singgasana raja, dan
juga foto-foto yang terbingkai rapi. Salah satu fotonya adalah sebuah kapal
yang sedang berlabuh di Sungai Kayan. Di badan kapal itu tertulis Boelongan
Nederland.
”Bulungan dan Belanda itu
bersahabat. Kami tidak berperang melawan Belanda,” ujar Jimmy Nasroen, seorang
pengajar di Universitas Kalimantan Utara yang juga tokoh pemuda Bulungan pada
LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Bulungan.
Kesultanan Bulungan saat itu
adalah sebuah wilayah yang berdaulat: memiliki pemerintahan, teritori, dan
rakyat. Wilayah kekuasaannya mencapai Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Tarakan,
Sebatik, bahkan hingga ke Sipadan dan Ligitan. Untuk Pulau Sipadan, mereka
mengenalnya dengan sebutan Pulau Sepot, yang artinya batas. Kemudian hari pulau
tersebut dinamakan Sipadan, yang kini masuk dalam wilayah Malaysia .
”Tak ada nasionalisme di sini.
Kami makan dan belanja barang-barang yang hampir semuanya dari Malaysia ,”
kata Jimmy.
Menurut Jimmy, Kesultanan
Bulungan bergabung dengan Indonesia
pada 1949, yakni pada negara Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itulah
wilayah Kesultanan Bulungan, di dalam Federasi Kalimantan Timur, menjadi Daerah
Istimewa.
”Jadi ada tiga daerah istimewa di
Indonesia
sebenarnya. Selain Aceh dan Yogyakarta ,
Bulungan juga merupakan Daerah Istimewa. Namun, status keistimewaan itu dicabut
pada tahun 1964, seiring terjadinya Tragedi Bultiken yang dituduhkan tentara,”
ujar Jimmy.
Wajah Bulungan kini.
Pemerintahan Kesultanan Bulungan
berakhir pada tahun 1958, yang pada saat itu dijabat oleh Datu Tira atau yang
bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaludin.
-oOo-
Sumber : http://www.lenteratimur.com/malam-jahanam-di-bulungan