Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang. Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596–1620. Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk
segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan
bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang
berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut
disumbi. Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tampak
menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung;
sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama
Rumah Ba-anjung.
Adapun Jenis-jenis Rumah Adat Banjar adalah : 1. Bubungan Tinggi 2. Gajah Baliku 3. Gajah Manyusu 4. Palimbangan 5. Palimasan 6. Balai Bini 7. Balai Laki 8. Tadah Alas 9. Cacak Burung/Anjung Surung 10. Bangun Gudang Dengan tujuan untuk melestarikan Rumah Adat Banjar, kami coba berkreasi dengan membuat Miniatur Rumah Adat Menggunakan Kayu
Lamun Urang Kreatif Supan manciplak nang sudah kami ulah .... !!!
Miniatur Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi
Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Baliku
Miniatur Rumah Adat Banjar Palimbangan
Miniatur Rumah Adat Banjar Gajah Manyusu
Miniatur Rumah Adat Banjar Palimasan
Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Bini
Miniatur Rumah Adat Banjar Balai Laki
Miniatur Rumah Adat Banjar Cacak Burung (Anjung Surung)
Miniatur Rumah Adat Banjar Tadah Alas
Miniatur Rumah Anno 1925 yang pernah ada di Seberang Mesjid Sabilal Mutaddin Banjarmasin
Suatu Kebanggaan telah diberi kepercayaan membuat lambang Sebuah kesultanan walaupun dalam pembuatan Lambang ini banyak rintangan-rintangan yang ditemukan baik dari individu maupun mistiknya, karena lambang yang dibuat bukan lambang biasa tapi menghidupkan kembali sesuatu yang sudah lama tenggelam. Dalam Pembuatan Lambang Kebesaran Sebuah Kesultanan Merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan ini akan menjadi moment bagi pembuatanya.
"Mengangkat Batang Tarandam", bisa di katakan batang yang sudah tua penuh lumut dan lumpur. Tidak mungkin membersihkan seutuhnya karena batang yang tarandam pasti sudah didiami oleh orang atau dipandang dari bentuk nyata mungkin sebelum batang itu telah dihuni oleh ekosistem air seperti ikan, kepiting atau udang karena kita telah mengangkat berarti kita sudah mengubah ekosistem yang ada, walaupun kita cuma mengangkat atau mengambil kembali batang yang terendam.
Banyak juga hinaan setelah selesai pembuatan logo ini, dari bentuk yang mempertanyakan apakah begini bentuk logo kesultanan zaman dulu dan kenapa mirip dengan logo negara lain, sampai ada yang menganggap kalau ini adalah hasil bersama dari Tim Persiapan sedangkan saya tidak tahu apakah masuk dari Tim tersebut, dalam pembuatan logo ini tidak ada sketsa dari yang menyuruh bagaimana bentuknya.tapi dibuat dulu baru diberi masukan perubahan-perubahan, mungkin itu yang dimaksud dari hasil bersama.
Karena niat mengangkat budaya masa lampau maka sebelumnya saya terpanggil untuk membantu pembuatan atribut-atribut ini dengan niat hati Alhamdulillah sudah diberi kepercayaan ikut membangun dan berpartisipasi walaupun didalam hal ini aku tidak tahu sebagai apa disini, tujuan utama cuma satu saat itu kerjakan dengan selesai tugas ini tanpa memikirkan apa-apa walaupun niat hati sedikit minta dihargai, walaupun akhirnya ditinggalkan dan dimusuhi oleh yang merasa dihargai, inilah sepenggal kisah dari pembuatan Lambang-Lambang ini dari Arti Lambang sampai mulai Pembuatan dan Selesai.
Lambang Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar
Lambang ini dibuat pada Akhir Bulan April, pembuatan lambang ini memakan waktu sekitar 3 minggu, asal mula Lambang ini diambil dari Stempel Sultan Tamjidillah, namun pada akhirnya tidak semua diambil melainkan bentuk dari Tamengnya saja. Arti Lambang :
1. Padi dan Kapas
Melambangkan Kesuburan dan Kemakmuran
2. Bulan dan Bintang Melambangkan Ke Islaman
3. Tameng berwarna Merah
Melambangkan Suatu Pertahanan atau Melindungi
4. Saraung Mahkota Berwarna Kuning Melambangkan Kebangsawanan
5. Pita Biru mengikat Padi dan Kapas Melambangkan di ikat atau disatukan oleh darah Bangsawan atau Pagustian
Pilihan Bentuk Logo yang akhirnya di pilih yang Nomor 4
-oOo-
Lambang Panji Kesultanan Banjar
Panji atau Bendera Kesultanan dibuat sekitar Akhir Bulan Mei 2010, sebelumnya banyak masukan bagaimana bentuk Panji dari Kesultanan Banjar namun pada akhirnya Panji Kesultanan diambil dari Bentuk Keris Sultan Adam, tidak mudah dalam pembuatan Lambang ini karena bentuk dari Keris Sultan Adam adalah berupa Relief dan waktu membuatnya pun tidak langsung melihat keris melainkan dari photo handphone, komentar masalah Bendera ini bisa dilihat disini
Arti Lambang : 1. Gambar Naga Menghadap Ke kanan Melambangkan Sultan atau Raja Muda yang Bijak dan memperhatikan Rakyatnya dengan baik
2. Kuda Bersayap Menghadap Kebelakang Melambangkan Menjaga Kesultanan dari Tanah, Langit dan Air atau musuh dari Belakang (Menjaga Kebudayaan Banjar dari pengaruh yang negatif atau tetap Lestari)
3. Tongkat Bergagang Pedang dililit Merah Putih diatasnya Melambangkan kekuasaan Kesultanan tetap di Bawah NKRI
4. Lambang Bulan Sabit Melambangkan Ke Islaman
5. Lambang Dua Bintang Melambangkan Al-Qur'an dan Al-Hadist
6. Lambang Payung Berwarna Kuning Melambang Suku Banjar
7. Gambar Tombak / Pusaka-Pusaka Melambangkan Adat dan Budaya Banjar yang perlu dilestarikan dan dipelihara
8. Gambar Gunung / Pegunungan Menggambarkan Kalau Kesultanan Banjar terletak atau meliputi dari Pegunungan Meratus
9. Dua Garis Berwarna Biru Mengartikan Kesultanan Banjar di aliri diantara dua Sungai Riam Kanan dan Riam Kiwa
-oOo-
Lambang Lencana Kesultanan Banjar
Lambang ini dimulai dibuat pada Malam Nisfu Sya'ban, dan memakan banyak waktu karena hampir satu bulan dalam pembuatannya banyak perubahan dan penyempurnaan sehingga menghasilkan seperti ini. Arti Lambang : 1. Perisai Warna Kuning didalam Gambar Naga dan Benda Pusaka Melambangkan Keagungan Raka dan Benda Pusaka atau menjunjung tinggi Tradisi 2. Macan Putih Melambangkan Penjaga atau menjaga Raja dan Tradisi yang ada, Karena Macan Putih adalah Filosofi Suku Banjar bukan Harimau.
3. Bulan Bintang Melambangkan Agama Islam
4. Pita Kuning bertuliskan Baiman-Bauntung-Batuah Mengartikan Keadaan Masyarakat Suku Banjar
-oOo-
Semua Pembuatan Lambang Kebesaran ini rampung sepenuhnya pada tanggal 17 Juli 2010, karena pada tanggal 24 Juli 2010 akan diadakan Pelantikan Para Pemangku Adat se Kalimantan Selatan di Hotel Arum Banjarmasin, dan di Acara Pelantikan inilah Lambang-Lambang mulai di Perkenalkan di depan Publik.di Acara ini tenaga saya masih dibutuhkan yaitu membuat Slide tampilan untuk di Proyektor dan tidak dikut sertakan dalam pengurus atau sebagai apa.
Suasana Pelantikan Pemangku Adat
Lencana Pemangku Adat dan Pengurus
Rancangan Lencana Raja Muda
Lencana ini selesai dibuat pada tanggal 11 Agustus 2010, setelah Acara Pelantikan Pengurus Pemangku Adat di Hotel Arum Banjarmasin
Saya diberi tugas bukan membuat Lambang saja tapi juga membuat Desain Surat Berita AcaraPengangkatan Raja Muda, Surat Penghargaan dan Surat Penganugerahan Gelar untuk Penobatan Raja Muda Bulan 10-12 Desember 2010, walaupun saya bukan yang mengonsep Surat-surat tersebut namun saya diberi tugas langsung untuk mengetik dan mendesain bentuk-bentuk surat untuk dicetak. Mengenai Hak Cipta Lambang-Lambang ini, Mungkin tidak di Publikasikan dan saya sendiri tidak tahu apakah saya dicantumkan sebagai pembuat lambang atau Pendesain.
Setelah Weblog ini diposting tanggal 07 Mei 2010 akhirnya diadakan Pertemuan pada tanggal 27 Juni 2011, diantara dua Belah Pihak dan seorang Mediator yang menawarkan diri, Alhamdulillah Hasilnya Sesuai dengan yang diharapkan, yaitu berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Namun entah kenapa Setelah ditunggu-tunggu sampai Bulan September 2011 kelanjutan Pertemuan itu tidak ada kabar lagi, yang didengar cuma logo-logo ini telah dirubah dan Mediator yang sebelumnya menawarkan diri tanpa Kabar lagi begitu juga seorang Perwakilan dari Kesultanan, yang semula akan mengurus masalah ini. Wallahualam .... Inilah Logo Kesultanan yang Baru setelah di rubah : Menurut Kabar banyak alasan kenapa Logo-logo ini dirubah, ada yang mengatakan kalau logo-logo ini dirubah karena masalah ini telah diterbitkan disebuah Media dan ada juga menurut Kesultanan Logo ini adalah Karya bersama dibawah arahan Raja Muda yang dimintakan dengan saya secara Komputerisasi lewat Kurir yang upahnya sudah dibayar. Komen-komen masalah logo ini bisa dilihat disini Pihak Kesultanan menganggap masalah ini sudah selesai dengan cara membatalkan Logo yang bermasalah ini dengan membuat Logo yang baru dengan Filosofi yang sama. Terbitan Tabloit Urbana masalah logo ini
Logo ini sekarang ada di Museum Lambung Mangkurat disejajarkan dengan koleksi disana tanpa nama, diphoto oleh Kaos Hy-Munk Banjarmasin Photo logo saat anak melihat di Musium Lambung Mangkurat Banjarbaru
Kisah ini pernah aku bukukan perjalanan pembuatan mulai pertama, sampai pertemuan kedua belah pihak serta, SMS, Inbox dan BBM masalah pembuatan logo karena kupikir masalah ini tidak penting lagi akhirnya buku ini dimusnahkan pada tanggal 11 September 2011
"Dengan Bismillah Terima kasih telah diberi kepercayaan, untuk membuat Lambang-Lambang Kesultanan dan Terima kasih kepada Mediator yang pernah menawarkan diri " *END ....
Ibrahim berdiri terpaku menatap istana yang
hancur lebur. Ia menangis sesenggukan. Air matanya mengalir deras sedari tadi.
Di depan mata bocah sepuluh tahun itu tersaji sebuah pemandangan bengis:
segerombolan orang berpakaian loreng dan bersenjata lengkap membakar mahligai
negara Kesultanan Bulungan. Api berkobar menjilati tiang-tiang istana.
Dari arah utara, suara teriakan perempuan terdengar keras.
”Ibrahim…! Lari… lari!”
Perempuan itu meminta Ibrahim
segera meninggalkan istana yang sudah menjadi puing. Namun dia tetap tegak bak
pohon yang tak goyang. Angin malam Sungai Kayan tak membuat langkahnya mundur.
Tajam matanya yang masih dilintasi air yang turun dari kelopak, tetap tertuju
pada reruntuhan istana. Otaknya merekam peristiwa malam itu lekat-lekat.
Lalu, perempuan itu keluar dari
persembunyiannya dan berlari ke arah Ibrahim. Sekejap, tangannya menangkap
tubuh Ibrahim yang masih berdiri tegap dan membawanya menjauh dari kobaran api.
Perempuan itu tak lain adalah ibu kandung Ibrahim sendiri, yang selamat dari
pembantaian.
Setelah puas membakar, membunuh
petinggi negara Kesultanan Bulungan, dan merampas harta benda istana, para
tentara itu lalu menculik Datu Mukemat bergelar Raja Muda. Sampai sekarang,
Raja Muda yang juga sepupu Ibrahim itu, tak diketahui nasibnya.
Replika Singgasana Kesultanan Bulungan
Sabtu, 18 Juli 1964, di malam
penuh kebengisan itu, semua hancur lebur. Peradaban panjang terbujur. Ibrahim
menjadi saksi betapa kejinya sekelompok tentara yang telah membunuh dan
menculik kerabat istana hingga membakar dan menghancurkan istana dan rumah
adat. Tak puas membakar, para tentara juga merampas harta benda milik
kesultanan.
”Waktu itu saya masih kecil, baru
berumur sepuluh tahun. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pembakaran itu.
Tentara menculik dan membunuh kerabat istana. Raja Muda hilang. Sampai sekarang
tidak jelas keberadaannya,” kata Ibrahim yang bergelar Datu Ibrahim Bin Datu
Bendahara, kepada LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Museum Kesultanan
Bulungan, Tanjung Palas, Kalimantan Timur.
Mata Ibrahim berkaca-kaca
menceritakan peristiwa itu. Suaranya berat. Tangannya menunjuk foto Raja Muda
bersama istrinya yang terpajang di salah satu dinding di dalam museum
Kesultanan Bulungan. Museum itu dibangun ulang untuk mengangkat kembali
kejayaan Kesultanan Bulungan. Bersama istri dan anaknya, Ibrahim tinggal tak
jauh dari museum, yang dulunya adalah istana.
Ibrahim yang kini berusia 58
tahun itu bercerita, sebelum 18 Juli 1964, sudah terjadi penangkapan dan
pembunuhan petinggi-petinggi Bulungan oleh tentara atas perintah Brigadir
Jenderal Suhario, yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam IX Mulawarman.
Namun, yang melakukan eksekusi di lapangan adalah kaki tangannya, antara lain
Letnan B. Simatupang.
Berdasarkan informasi dari
Kesultanan Bulungan, pelaku pembantaian ini juga memiliki keterkaitan dengan
kaum komunis. Dan di banyak sumber, Suhario disebut-sebut memang dekat dengan
kelompok tersebut.
”Kerabat kami satu per satu
diculik. Ada
yang dibunuh. Setidaknya ada 58 orang korban keganasan tentara,” kata Ibrahim.
Petaka 18 Juli 1964 itu kemudian
dikenal dengan nama tragedi Bultiken. Bultiken merupakan akronim dari Bulungan,
Tidung, dan Kenyah. Ketiganya berasal dari keturunan proto-melayu yang dalam
perjalanan masa dikenal dengan nama suku Dayak Kenyah atau Dayak Kayan.
Sementara, mereka yang hijrah ke wilayah pantai melalui percampuran darah dan
perkawinan dengan penduduk pendatang dari daerah atau negeri lain menjelma
menjadi dua rumpun besar, yaitu Suku Tidung dan Suku Bulungan.
”Kami dituduh makar, melawan
pemerintahan yang sah,” kata Ibrahim. ”Akibatnya banyak kerabat kami yang lari
ke Malaysia dan memilih
menjadi warga negara Malaysia
ketimbang Indonesia.”
Menurut Ali Amin Bilfaqih, dalam
bukunya “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”, kejadian
itu bermula pada Kamis, 2 Juli 1964. Selepas salat Magrib hingga larut malam,
Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang bertamu ke kediaman Raja Muda di
istana Kesultanan Bulungan. Mereka tampak asyik bercerita hingga diselingi tawa
dan canda. Namun, di ruangan terpisah, dua anak Raja Muda yang masih balita,
Masnun dan Khaharudin, sangat rewel. Mereka menangis terus sejak magrib hingga
larut malam. Tangisan itu ditafsirkan sebagai pertanda akan datangnya sesuatu
yang buruk.
Bisa jadi firasat itu benar.
Selepas Kapten Buntaran dan Letnan B. Simatupang pamit tengah malam dan diantar
Raja Muda hingga tangga istana, ternyata keduanya kembali lagi pada subuh dini
hari, Jumat, 3 Juli 1964. Kali ini mereka membawa sepasukan tentara dari satuan
tempur Brawijaya 517 untuk mengepung istana Kesultanan Bulungan.
Masyarakat yang kala itu sedang
mengambil air wudhu di Sungai Kayan untuk salat subuh kaget melihat begitu
banyaknya tentara. Dan sekitar pukul enam pagi, seluruh masyarakat di Tanjung
Palas dikumpulkan di depan istana.
Lalu, Mayor Sumina Husain,
Komandan Kodim 0903 Bulungan di Tanjung Selor, berpidato. ”Para bangsawan
Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah, dengan gerakan
subversif Bultiken.”
Pernyataan itu kemudian diulangi
lagi oleh Letnan B. Simatupang. Namun, Datu Taruna, bangsawan Bulungan,
menyanggahnya.
”Itu tidak mungkin, sebab Kapten
Buntaran dan Letnan B. Simatupang ngobrol hingga larut malam dengan Raja Muda
di istana.”
Letnan B. Simatupang marah, lalu
memerintahkan kepada seorang polisi M. Ramli untuk menembak Datu Taruna. Datu
Taruna pun akhirnya terjungkal dan rebah bersimbah darah.
Sejak peristiwa itu, tentara
menutup istana dan harta benda dijarah. Satu per satu bangsawan Bulungan hilang
tanpa status. Sisanya ditangkap dan ada yang dibunuh. Tercatat pada 3, 4, dan 6
Juli 1964 sering terjadi penculikan dan penangkapan. Kemudian Sabtu malam, 18
Juli 1964, istana Raja Muda pun dibakar.
Kekejaman itu lalu terus memburu.
Pada hari Kamis-Jumat, 23-24 Juli 1964, penyerangan dan pembakaran masih terus
dilakukan. Istana Bulungan bertingkat dua itu dibakar selama dua hari dua malam
hingga rata dengan tanah. Masyarakat yang tidak ikut membakar istana, dianggap
pengikut Raja Muda yang memberontak.
”Peristiwa itu tidak akan kami
lupakan. Saya masih dendam hari ini,” kata Ibrahim. Suaranya berat. Ia terdiam
sejenak. Matanya sedikit berkabut. ”Tuhan yang akan membalasnya,” suara Ibrahim
lirih.
Bergabung dengan
Indonesia
Istana Kesultanan Bulungan
terletak di Tanjang Palas. Untuk mencapainya, orang harus menyeberangi Sungai
Kayan dari Tanjung Selor. Tak butuh waktu lama, cukup sekitar lima menit berperahu kolotok saja, kita akan
sampai di Istana Kesultanan Bulungan, Kalimantan Timur.
Untuk mengingat lagi masa
kejayaan Bulungan, karena istana itu telah dibumihanguskan oleh tentara, maka
dibuatlah Museum Kesultanan Bulungan. Di halaman dan teras istana, terdapat
meriam-meriam tua yang tepat berhadapan ke arah Sungai Kayan.
Di dalam museum, masih terdapat
sebagian kecil saja sisa-sisa harta benda Kesultanan Bulungan yang selamat dari
jarahan tentara. Semua ornamen-ornamennya didominasi oleh warna kuning. Antara
lain keris – senjata khas Melayu, tempat tidur raja, guci, singgasana raja, dan
juga foto-foto yang terbingkai rapi. Salah satu fotonya adalah sebuah kapal
yang sedang berlabuh di Sungai Kayan. Di badan kapal itu tertulis Boelongan
Nederland.
”Bulungan dan Belanda itu
bersahabat. Kami tidak berperang melawan Belanda,” ujar Jimmy Nasroen, seorang
pengajar di Universitas Kalimantan Utara yang juga tokoh pemuda Bulungan pada
LenteraTimur.com, Selasa (19/6), di Bulungan.
Selain itu, ada juga foto
pernikahan Sultan Bulungan, Datuk Ahmad Sulaiman, dengan putri Sultan Langkat
(Sumatera), Tengku Lailan Syafinah (pada foto Lailan Supimah) binti almarhum
Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad pada 1926. Oleh rakyat Langkat, Sultan
Bulungan dikenal dengan nama Sri Sultan Maulana Ahmad Sulaiman Ud-din. Jarak
antara Bulungan dan Langkat tak terkira jauhnya, yang jika ditarik garis lurus
mencapai sekitar 2.200 kilometer. Sebuah situs Belanda juga mencatat sejumlah foto
pernikahan keduanya di Tanjungpura, Langkat, yang juga dirayakan dengan tarian
Karo (lihat di sini).
Kesultanan Bulungan saat itu
adalah sebuah wilayah yang berdaulat: memiliki pemerintahan, teritori, dan
rakyat. Wilayah kekuasaannya mencapai Malinau, Nunukan, Tana Tidung, Tarakan,
Sebatik, bahkan hingga ke Sipadan dan Ligitan. Untuk Pulau Sipadan, mereka
mengenalnya dengan sebutan Pulau Sepot, yang artinya batas. Kemudian hari pulau
tersebut dinamakan Sipadan, yang kini masuk dalam wilayah Malaysia.
”Tak ada nasionalisme di sini.
Kami makan dan belanja barang-barang yang hampir semuanya dari Malaysia,”
kata Jimmy.
Menurut Jimmy, Kesultanan
Bulungan bergabung dengan Indonesia
pada 1949, yakni pada negara Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itulah
wilayah Kesultanan Bulungan, di dalam Federasi Kalimantan Timur, menjadi Daerah
Istimewa.
”Jadi ada tiga daerah istimewa di
Indonesia
sebenarnya. Selain Aceh dan Yogyakarta,
Bulungan juga merupakan Daerah Istimewa. Namun, status keistimewaan itu dicabut
pada tahun 1964, seiring terjadinya Tragedi Bultiken yang dituduhkan tentara,”
ujar Jimmy.
Wajah Bulungan kini.
Pemerintahan Kesultanan Bulungan
berakhir pada tahun 1958, yang pada saat itu dijabat oleh Datu Tira atau yang
bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaludin.
”Ekonomi masyarakat di Bulungan sangat maju saat itu.
Jika tidak bergabung dengan Indonesia,
kami sama sejahteranya seperti Singapura,” kata Ibrahim.
-oOo-
Sumber : http://www.lenteratimur.com/malam-jahanam-di-bulungan
Kesultanan Kotawaringin,
satu-satunya kerajaan yang pernah ada di Prop Kalteng, bahkan masih terpelihara
dengan baik. Bahkan semasa penjajahan Belanda, daerah ini luput dari rencana
pengkristenan Dayak Besar. Hingga kini kita dapat melihat dan menyaksikan situs
beserta benda-benda peninggalannya. Ternyata pendiriannya bermaterai darah
manusia, termasuk dalam Panti Darah Janji Samaya.
Menyusuri
Sungai Arut sepanjang ratusan kilometer yang membelah Kota Pangkalan Bun,
sampailah kita di Kecamatan Kotawaringin Lama dengan Astana Al Noorsari-nya
yang masih berdiri kokoh. Astana Al Noorsari adalah cikal bakal Kesultanan
Kotawaringin sebelum pusat kekuasaannya pindah ke Pangkalan Bun tahun 1679
M/1171 H.
Di
daerah ini, kita juga masih akan menemukan catatan sejarah lainnya. Terdapat
makam Sultan-sultan Kotawaringin yang bertulisan huruf Arab Melayu, makam Kyai
Gede seorang tokoh penyebar agama Islam sekitar abad ke 16. Kita juga dapat
menemukan bangunan Masjid Djami Kotawaringin yang masih terbilang kokoh, meski
hampir seusia ketika Kyai Gede menyebarkan Islam di daerah ini.
Dan,
menapak tilas satu-satunya kerajaan yang pernah ada di propinsi Kalteng ini,
memerlukan waktu cukup panjang, satu setengah jam dari Kota Pangkalan Bun
dengan transportasi speed boat. Tak cuma itu, karena membicarakan
Kesultanan Kotawaringin yang masih memiliki benang merah dengan kerajaan
Banjar, tidak boleh tidak harus merunut sejarah kerajaan Banjar hingga
kekuasaan Belanda turut bercokol di daerah ini.
Seperti
dituturkan Gusti Djendro Suseno yang masih keturunan Raja ke VII Gusti Sultanul
Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan, keturunan Raja Banjarlah yang mula
pertama membangun Kesultanan Kotawaringin.
"Kesultanan
Kotawaringin memiliki benang merah sejarah sangat kuat dengan Kerajaan Banjar,
hal itu tak dapat dinafikan," ungkap Djendro Suseno yang juga anggota DPRD
Tk II Kotawaringin Barat dari Fraksi Golkar. Namun dalam perjalanan
selanjutnya, tak terelakkan terjadi asimilasi atau percampuran dengan
masyarakat setempat yang notabene adalah Suku Dayak.
Jadi
menurutnya, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang kini bermukim memenuhi
seantero Kab Kotawaringin Barat, sebagian besar adalah juga anak cucu keturunan
Suku Dayak. "Untuk mempererat jalinan kerjasama dan memantapkan kekuasaan,
kala itu anak-anak kepala suku atau demang diambil sebagai istri mendampingi
sang raja walau posisinya bukan sebagai istri pertama," imbuhnya.
Pangeran Adipati Anta Kasuma
Adalah
Sultan Musta'inubillah Raja Kerajaan Banjar yang berputra lima orang,
diantaranya empat orang laki-laki yaitu Pangeran Adipati Tuha, Pangeran Adipati
Anum, Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional), Pangeran Adipati Anta Kasuma dan
Puteri Ratu Aju. Karena masing-masing Putra Mahkota berminat menjadi Sultan
sebagai pemegang tertinggi tampuk kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir
bijaksana.
Akhirnya,
merasa bukan putra tertua, Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memiliki
keberanian dan semangat tinggi untuk menjadi seorang pemimpin, bertekat pergi
mencari tempat dan mendirikan kerajaan baru. Dan memang, Pangeran Adipati Tuha
lah sebagai putra tertua yang akhirnya memegang tampuk kekuasaan kerajaan
Banjar.
Dengan
restu kedua orang tua serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, berangkatlah dia
beserta pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan. Menggunakan perahu
layar kerajaan, bertolaklah mereka menuju arah barat menyusuri pesisir pantai.
Di sepanjang jalan yang mereka lalui, banyak tempat yang disinggahi antara lain
Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit dan Kuala Pembuang.
Rombongan
Pangeran Adipati meneruskan pelayaran ke arah barat, sampai akhirnya mendarat
di sebuah daerah, dinamakan Kuala Pembuang. Daerah ini sudah ada penghuninya
yang juga berkiblat di bawah kepemimpinan Kerajaan Banjar, sehingga kehadiran
rombongan yang bermaksud mendirikan kerajaan baru ini ditolak oleh masyarakat
setempat.
Panti Darah Janji Samaya
Tanpa
mengenal putus asa, dengan semangat tinggi rombongan Pangeran Adipati kembali
melanjutkan perjalanan. Kali ini, perjalanan tidak lagi menyusuri pantai tapi
menuju hulu sungai hingga akhirnya sampai ke sebuah desa yang dinamakan Desa
Pandau. Walau Desa Pandau telah dihuni masyarakat Suku Dayak yang dikenal
dengan Suku Gambu, Arut, Anom dan lainnya sebanyak sembilan macam suku, di
bawah kepemimpinan Demang Petinggi di Umpang menerima kehadiran rombongan
Pangeran Adipati.
Seperti
juga tertulis dalam catatan sejarah "Sekilas mengenang lahirnya Kerajaan
Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat" yang diterbitkan Humas dan
Penerangan Setwilda Kobar 2001, Demang Petinggi sebagai kepala Suku Dayak
menyerukan pada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati. Seruan
Demang Petinggi ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran sebagai raja
tapi dengan syarat raja harus memperlakukan mereka bukan sebagai hamba, tetapi
sebagai pembantu utama dan kawan terdekat atau sebagai saudara yang baik.
Rakyat tidak akan menyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati.
"Usulan
ini ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongan," ujar
Djendro diiyakan Gusti Rasyidin yang juga anak keturunan kesultanan ini.
Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian
ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang
diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran
Adipati Anta Kasuma.
"Perjanjian
itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan
dengan tetesan darah yang bercampur jadi satu," ungkap Gusti Rasyidin yang
ketika wawancara berlangsung ditemani Nurhadi dan Ahmad Yusuf di Astana Al
Noorsari Kotawaringin Lama.
Dengan
tersendat-sendat, coba dia paparkan bagaimana perjanjian bermaterai darah itu
berlangsung. Menurutnya, memang agak sukar diterima oleh akal, hanya demi
sebuah janji harus mengorbankan dua manusia. Namun demikianlah adat yang
berlaku, maka masing-masing kedua belah pihak menarik salah seorang pengikutnya
untuk dijadikan korban perjanjian.
Sebelum
kedua calon korban berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengambil sebuah batu
yang harus ditancapkan ke tanah. Batu ini sebagai bukti atau perlambang turun
temurun saksi sepanjang masa telah terjadi ikatan persaudaraan antara Suku
Dayak dengan rombongan Pangeran Adipati dari Kerajaan Banjar. Dengan melakukan
upacara adat yang hikmat, kedua calon korban berdiri di samping batu saksi yang
kini dikenal dengan "Batu Pertahanan". Calon korban dari Suku Dayak
berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan calon korban dari rombongan
Pangeran berdiri menghadap ke hilir menunjukkan asal kedatangannya.
Selesai
upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak mencabut mandaunya dan ditusukkan
menembus ke dada korbannya, darah pun memancur deras. Korban dari pihak
Pangeran Adipati pun ditusuk sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang
dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah.
"Percampuran
darah yang disaksikan kedua pihak inilah yang dimaksudkan untuk mempersatukan
segala rasa dan pikiran dalam mewujudkan rencana bersama, membangun
kerajaan," imbuh Rasyidin.
Terbentuk Kerajaan
Meski
telah disepakati perjanjian antara kedua belah pihak, namun Desa Pandau masih
dianggap belum cocok untuk membangun kerajaan baru. Kedua rombongan yang telah
terpadu dalam "Panti Janji Darah Samaya" milir mengikuti aliran
Sungai Arut, kemudian mudik Sungai Lamandau, mencari daerah paling pas untuk
membangun kerajaan. Akhirnya, sampailah mereka di daerah yang meyakinkan yaitu
Tanjung Pangkalan Batu yang kemudian hari dikenal sebagai Kotawaringin Lama.
Berhentilah rombongan dan untuk beristirahat mereka membuat rumah di atas air
yang biasa disebut "lanting".
"Ketika
Pangeran Adipati naik ke darat, bertemulah dia dengan Kyai Gede seorang ulama
penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu," papar
Rasyidin. Dan menurutnya, atas usulan Kyai Gede jugalah masyarakat sekitar yang
dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar upeti ke Kerajaan Banjar, tapi
ke Pangeran Adipati Anta Kasuma yang memimpin langsung Kerajaan Kotawaringin
sebagai raja pertamanya.
Kerajaan
Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi
kerajaan, sebagaimana dipaparkan Gusti Djendro Suseno melakukan pencampuran
dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini
berlangsung hingga raja-raja berikutnya. Tercatat raja-raja yang berkuasa
setelah kepemimpinan Pangeran Adipati Anta Kasuma. Pangeran Mas Adipati putra
Pangeran Anta Kasuma yang menggantikan ayahndanya setelah wafat, berkuasa dari
920-941 H. Kemudian Pangeran Panambahan Anum (942-975 H), Pangeran Prabu Anum
(975-1005 H), Pangeran Adipati Anum (1005-1050 H), Pangeran Penghulu (1050-1069
H), Gusti Sultanul Baladuddin Gelar Pangeran Ratu Begawan (1069-1116 H), Gusti
Musaddam Gelar Pangeran Ratu Anum Kusuma (1116-1171 H).
Namun
dalam perjalanan selanjutnya, ketika ibukota kerajaan pindah ke Pangkalan Bun
di bawah kepemimpinan Pangeran Ratu Imanuddin, yang menurut Djendro Suseno,
pemerintahannya sangat pro pada pihak Belanda. Sehingga hubungannya dengan orang-orang
Kotawaringin Lama menjadi tidak harmonis, karena Kotawaringin lama sangat
kontra dengan penjajah Belanda.
Setelah
kepemimpinan Pangeran Ratu Muhammad Imanuddin, menyusul bertahta Pangeran Ratu
Achmad Hermansyah (1265-1281 H), Gusti Muhammad Sanusi Gelar Pra kasuma Yudha
(1265-1281 H), Pangeran Pakusukma Negara (1281-1325 H), Pangeran Samudra Gelar
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1325-1332 H) dan Pangeran Muhammad Gelar Pangeran
Ratu Kasuma Anum Alamsyah (1332-1350 H).
"Pemindahan
ibukota kerajaan ke Pangkalan Bun ini yang dijadikan sebagai titik tolak
lahirnya Kabupaten Kotawaringin Barat, tahun 1679 M yang terbagi atas Kec Arut
Selatan, Delang, Lamandau, Kotawaringin Lama, Arut Utara, dan Balai Lama,"
lanjutnya bernada miris karena sejarah yang sepertinya tidak berpihak pada
pendahulunya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Sebelum Tahun 1950
Peranan Di Bidang
Pemerintahan
Kesultanan Kotawaringin berdiri
lebih dari tiga abad dengan satu kali perpindahan ibu kota dari Kotawaringin Lama ke Sukabuni Indra
Sakti yang kemudian dinamai Pangkalan Bu’un. Sultan pertama Kesultanan
Kotawaringin adalah Pangeran Adipati Antakesuma bin Sultan Mustainubillah
dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah dari tahun 1615-1630
M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede.
Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan
Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu di bangun Istana Luhur
sebagai keratin Kesultanan Kotawaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah
patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong
Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat
menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban. (Bappeda :
2004 : 9-10)
Selain pembangunan fisik sultan
juga menentukan batas-batas wilayah Kesultanan Kotawaringin yaitu :
1)Sebelah utara berbatasan dengan Bukit Sarang Pruya
(Kerajaan Sintang).
2)Sebelah timur berbatasan dengan sengai Mendawai.
3)Sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Simbar
(Kerajaan Matan).
4)Sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. (Bappeda :
2004 : 10)
Sultan kedua adalah Pangeran Mas Adipati yang memerintah dari tahun 1630-1655 M
dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudia digantikan oleh Dipati Gading. Setelah
beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah dari
tahun 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin yang
keempat adalah Pangeran Prabu yang memerintah dari tahun 1682-1699 M dengan
Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Dipati
Tuha yang memerintah dari tahun 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra.
Sultan Kotawaringin yang keenam adalah Pangeran Penghulu yang memerintah tahun
1711-1727 M. Keseluruhan sultan dari yang kedua hingga yang keenam dimakamkan
di Kotawaringin, penulis sendiri tidak menemui penjelasan yang banyak tentang
sultan kedua hingga yang keenam. Menurut Lontaan dan Sanusi pada masa-masa itu
kesultanan berjalan lancer, aman dan tentram tidak ada gangguan dari manapun.
Sultan Kotawaringin yang ketujuh
adalah Pangeran Ratu Bengawan yang memerintah dari tahun 1727-1761 M.
Pada masa pemerintahan beliau Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan
dengan melimpahruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin
di pasar regional. Sistem pemerintahan telah menugaskan beberapa menteri yang
mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan lain
sebagainya. (Bappeda : 2004 : 11) Namun pada masa pemerintahan belaiu inlah
Kesultanan Kotawaringin diserahkan Kerajaan Banjar ke Hindia Belanda. Mulai
saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan harus dilakukan kepada Kontrolir
Hindia Belanda.
Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai
sultan kedelapan, beliau memerintah dari tahun1761-1805 M dengan Mangkubumi
Pangeran Tapa Sana. Pada masa beliau di bangun pesantren di Danau Gatal Kanan
dan Danau Gatal Kiri (desa Rungun sekarang) sebagai tempat mendidik putra-putri
kesultanan.
Pada masa Sultan kesembilan Pangeran Ratu Imanudin ibu kota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan
ketepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian
dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. (wawancara dengan Gusti Awwannur : selasa 20
November 2007) Beliau memerintah dari tahun 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi
Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng
Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di teluk Kumai, serta
parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi bajak laut. Beliau juga membangun
Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri beliau.
Sultan Kotawaringin yang
kesepuluh adalah Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku
Syukma Negara yang memerintah dari tahun 1847-1862 M. Setelah Sultan kesepuluh
wafat beliau digantikan dengan Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi
Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum
Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan kesepuluh menjadi sultan
kesebelas dari tahun 1867-1904 M dengan dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma
Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata, pada masa
beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.
Setelah beliau wafat terjadi
perebutan tahta karena beliau tidak memiliki anak laki-laki, akhirnya pihak
Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve engambil keputusan yang berhak naik
tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma
Negara naik tahta kembali yang memerintah dari tahun 1904-1913 M dengan dibantu
Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian
mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana
Perabu Wijaya Menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran
Mohamad Zen menjadi Penghulu.
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin
Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ketigabelas dengan Mangkubumi Pangeran
Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau
adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati
Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948. Pada masa pemerintahan beliau
dilakukan perluasan wilayah kesultanan sebagai berikut :
a.Di Kampung Mendawai, membuka lokasi baru untuk
pemukiman penduduk Mendawai yang selama itu tinggal di sungai Karang Anyar, maka
dikenallah tempat itu dengan sebutan Sungai Bulin.
b.Di Kampung Raja, membuka lokasi baru untuk tempat
pemukiman penduduk Kampung Raja yang banyak tinggal di pedukuhan /
ladang-ladang, maka dikenallah tempat itu dengan kampung sungai Bu’un atau
disebut juga Kampung Baru, sekarang menjadi Kelurahan Baru.
c.Di jalan Pangkalan Bun ke Kumai, di depan simpang
Mendawai, dibuka pemukiman orang-orang yang berasal dari Jawa, sekarang menjadi
kelurahan Sidorejo. (Bappeda : 2004 : 18 )
Peranan Keturunan
Sultan Kotawaringin Di Bidang Kebudayaan
Di dalam bidang kebudayaan sejak
Kesltanan Kotawaringin beribukota di Kotawaringin Lama hingga dipindahkan ke
Pangkalan Bun para sultam-sultan yang memerintah membangun istana-istana dan
bangunan yang indah seperti istana Alnursari, mesjid Jami Kotawaringin dan
Istana Kuning atau Keraton Lawang Agung Bukit Indra Kencana yang bersifat
terbuka tanpa dilindungi benteng seperti di Jawa yang memiliki arsitektur
gabungan antara pengaruh jawa, banjar, melayu dan dayak.
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda terdapat hiburan sepreti
Kelompok Musik Raja dan Pernaman Abdul Mulik Sejenis Komedi Saudi Arabia. Dalam hasil wawancara penulis dengan Pangeran
Muasdjidinsyah tanggal 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa sejak dahulu
apabila ada peringatan hari-hari besar islam selalu diadakan pasar malam di
Lapangan Tugu, pada saat pasar malam tersebutlah ditampilkan
pertunjukan-pertunjukan kesenian khas daerah baik yang asli dari Kotawaringin
maupun dari luar daerah seperti :Jepen, Tirik, Mamanda, Ludruk, Ketoprak,
Ronggeng dan lain sebagainya. Mengenai orang-orang Tionghoa, pihak kesultanan
sengaja mengelompokkan mereka menjadi sebuah Pecinan di seberang sungai Arut
dan mereka tetap diberi kebebasan untuk mengembangkan budayanya sendiri.
Pada masa Pendudukan Jepang
kesenian daerah mulai di gali kembali. Untuk itu mereka mendirikan Keimin Bunka
Syidosyo (Badan Pusat Kebudayaan) yang bertugas menggalakkan hidupnya kesenian
rakyat. Hal ini didukung oleh pihak kesultanan dan para keturunan sultan
sendiri sehingga menumbuhkan kelompok-kelompok kesenian yang baru. Misalnya
saja, dalam waktu singkat bermunculan kelompok-kelompok sandiwara untuk
mementaskan sandiwara di desa-desa sekelilingnya. Dari segi lain dapat diambil
kesimpulan bahwa niat Pemerintah Pendudukan Jepang menumbuhkan kembali kesenian
tradisional adalah untuk menghibur tentara Jepang agar dapat mengobati
kerinduan kepada keluarga mereka di negaranya.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Ekonomi
Pada masa Pangerana Ratu Bengawan
(1727-1761 M ) Kesultanan kotawaringin mengalami masa keemasan, pada masa ini
hasil pertanian dan hasil bumi melimpah ruah dan di eksfor keluar daerah.
Perdagangan hasil kerajinan produksi Kotawaringin menjadi terkenal dan sangat
laku di pasaran regional. Krena kemajuan ekonomi ini rupanya juga memacu
perkawinan antar suku dan banyak pendatang baru yang menetap di Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin yang di
bangun di awal abad ke 17 telah memacu pertumbuhan permukiman di sepanjang
sungai di daerah Kotawaringin Barat. Permukiman yang ada dipacu oleh domain
ekonomi bukan oleh domain politik yang membentuk kota-kota agrasi seperti di
Jawa. Permukiman ini menggunakan sungai sebagai alat transfortasi dan elemen
primer kota sehingga Pangkalan Bun sebagai
ibukota Kesultanan Kotawaringin berkembang menjadi kota perdagangan yang menggunakan sungai
sebagai sarana utama.
Pada waktu sultan ke 13 bertahta
sekitar tahun 1930-an, hubungan antar wilayah di muara sungai atau tepi pantai
ke daerah pedalaman sudah dapat di tempuh dalam waktu lebih singkat. Ini karena
adanya kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang diperbolehkan oleh pihak
kesultanan untuk mengangkut barang dagangan dan penumpang.
Pada masa Pendudukan Jepang di
buat pabrik-pabrik yang melibatkan kerabat istana seperti : pabrik kapal di
Sukamara dan pabrik pengolahan kulit bakau di Kumai. Pembangunan
bangunan-bangunan untuk kepentingan Jepang juga dilakukan, serta pembukaan
kembali Lapangan Terbang yang ditinggalkan oleh Hindia Belanda.
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang Pendidikan
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan
pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut
adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau
Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran
Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah
desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan
yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu
Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan,
Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang,
sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu
yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi
dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut
orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa
Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
Ketika Jepang masuk, mereka
menemukan sekolah-sekolah swasta ini tetap berjalan dengan guru-gurunya yang
digaji oleh penduduk kampung. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih semua
sekolah swasta ini dan semua gurunya digaji oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pelajaran bahasa Jepang dengan intensif sekali diajarkan kepada anak-anak
sekolah. Setiap pagi sebelum masuk kelas selalu diadakan upacara bendera
mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Setelah
upacara selesai disambung dengan gerak badan yang disebut Taiso. (Bappeda :
2004 : 25). Selain itu siswa-siswa juga diajarkan pelajaran menyanyi oleh tentara
Jepang yang setiap hari datang ke sekolah. Penyebaran kebudayaan Jepang juga
semakin luas seperti tari-tarian ala Jepang dan sekolah-sekolah Rakyat juga
diperintahkan untuk mengadakan latihan sandiwara untuk dipentaskan pada
hari-hari besar bangsa Jepang. (Bappeda : 2005 : 38).
Peranan Keturunan Sultan
Kotawaringin Sesudah Tahun 1950-1960
Peranan Keturunan Sultan Kotawaringin Di Bidang
Pemerintahan
Setelah daerah Swapraja
Kotawaringin resmi bergabung dengan negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 1 Mei 1950,
daerah ini berada di bawah kabupaten Kotawaringin yang beribukota di Sampit
yang dipimpin oleh seorang bupati bernama Cilik Riwut. Daerah Swapraja
Kotawaringin sendiri dipimpin oleh seorang Wedana bernama Basri. Walaupun
sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke kabupaten Kotawaringin
semenjak tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Dengan berakhirnya kekuasan
kesultanan, maka para bangsawan dan keturunan sultan tidak lagi memiliki
jabatan-jabatan dalam pemerintahan. Hanya beberapa keturunan Sultan dan
bangsawaan yang sebelumnya sudah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, tetap
dipekerjakan sebagai pegawai seperti gusti Hamidan, Gusti Majdhan, Gusti M.
Taib dan lain-lain. Para bangsawan lainnya
seperti Pangeran Aria Ningrat yang dulunya bekerja sebagai kepala distrik
kembali kemasyarakat. (hasil wawancara dengan H. Tengku A. Zailani : Senin 22
November 2007)
Menurut Mastoer bin Atjil (wawancara, Jumat, 16 Nopember 2007), pada masa
perubahan kekuasaan tersebut perekrutan pegawai negeri saat itu banyak yang
diambil dari para bangsawan dan keturunan sultan. Contohnya adalah Pangeran
Perdana yang merupakan anak sultan diangkat langsung menjadi pegawai negeri,
dan ketika itu mayoritas penduduk kedarahan raja yang kebanyakan dari kaum
bangsawan, dan keturunanya bekerja sebagai pegawai di pemerintahan.
Daerah Swapraja Kotawaringin
sebagai bagian dari kabupaten kotawaringin juga melakukan pemilihan wakil-wakil
Rakyat yang akan duduk di DPRDS kabupaten Kotawaringin. Atas dasar ini maka
pada waktu itu terpilih : M. Abdullah Mahmud dari partai Masyumi, Ahmad Said
dari BPRI, Dahlan Abas dari partai Masyumi, M. Sahloel dari PNI, Gusti M.
Sanusi dari PNI, Djainuri dari SKI, I. Ismail dari Parkindo. (Lontaan dan Sanusi:
1976 : 91) Dalam susunan wakil rakyat yang terpilih tersebut terlihat hanya
Gusti M. Sanusi yang merupakan kerabat kesultanan yang terpilih dalam DPRDS.
Namun ketika Swapraja
Kotawaringin menjadi Kabupaten sendiri yang disahkan dengan undang-undang No :
27 tahun 1959 tentang pembagian daerah tingkat dua Kotawaringin Timur dapat
terlihat banyak diantara kerabat sultan yang menduduki jabatan sebagai anggota
DPRDGR, seperti : P. Arianingrat, Gst. Abdul Gani, Gst. Kiting, Gst.
Hermansyah, Mas Karim DW, dan H. A. MAS Alipandi. Masuknya beberapa nama ini
dalam DPRDGR menandakan mereka juga mulai berkecimpung didalam bidang
politik.